Ada hari-hari, dimana kau tidak lagi memiliki rasa dengan apa yang kau alami. mata yang terlalu nanar dengan polusi-polusi visual dan telinga yang terus berdenging di jejali keributan-keributan yang menjijikan. pada saat yang sama mulutmu terkunci, karena bersuara berarti menyakiti, atau berbicara sama dengan menyulut api. kau sadar, apa yang kau rasakan tak perlu lagi di jelaskan. kau hanya ingin menarik diri, berdiam di kegelapan sepi.
Titik dimana kau hampir putus asa, merasa terlahir bukan sebagai pejuang moral sosial, Kau ciptakan kenyataan baru dalam fikiranmu. yang (kau anggap) lebih baik dari kenyataan yang sedang terjadi. atau sebaliknya, kau hancurkan tatanan sosial sehancur-hancurnya. lalu menjadikannya standar tentang seharusnya dan tidak seharusnya kehidupan berjalan. sekali lagi, itu hanya berputar difikiranmu, menjadi satu-satunya yang hidup di antara nadir-nadir keputus asaanmu, seperti suara detik jarum jam di keheningan.
Kau bukan lari, kau hanya mundur selangkah untuk menjernihkan fikiran, menemukan kembali parameter kebenaran. karena kau percaya, salah parameter berarti salah penilaian, salah penilaian berarti salah tindakan, dan salah tindakan berarti salah pencapaian.
Saat itu kau kehilangan pijakan untuk membangun kembali konstruksi kebenaran karena batu-bata dinamika yang sudah terlanjur berserakan. “Kawruh Iku Gengem Dinegem Dadi, Ing Gelar Sak Jagad Ora Muat” = Pengertian benar itu digenggam ya bisa, namum kalau digelar sejagad pun tidak muat.
Orang-orang mulai melabelimu sebagai pecundang, pengecut yang tak punya cukup keberanian untuk menghadapi kenyataan, tapi kau tak perduli. kau lebih percaya dengan lagu Sleeping Sun milik Nightwish : "..The Sun is sleeping quitly.....For my dreams I hold my life.." kau berfikir, kau merintis, kau bebaskan diri dari kilatan puja-puji.
Jika Sastrawan besar Almarhum Danarto berkata : “Hidup adalah ketika kita berada antara bangun dan tidur. Antara kenyang dan lapar. Antara mandi dan tak mandi. Separuh badan kita kering, separuhnya basah. Hidup adalah ketika kita….” maka kau percaya, bahwa hidup adalah kadang-kadang. kadang berhasil, kadang gagal, kadang bersuara lantang laksana muadzin peradaban, tapi juga kadang diam mengamati dari kejauhan. yang tak pernah kadang-kadang hanyalah fikiran, dia terus berjalan sekalipun segala indra kau hentikan ketika berharap sesuatu segera silam.
Hingga tiba saatnya, kau kembali dari keheningan, membawa seberkas cahaya bernama kebijaksanaan, membawa sesuatu bernama Rasa yang sempat hilang dari tataran kehidupanmu dan orang-orang di sekitarmu. kau membuka mata, dengan sorot optimisme dan dorongan untuk membawa kehidupan pada titik terbaiknya.
Tak ada lagi tempat untuk keserakahan, ketamakan, dan pesta pora kesombongan, kau kembali menjadi manusia, yang tenang lagi menenangkan, yang selamat lagi menyelamatkan.
Yaa ayyatuhan nafsul muthmainnah
irji’ii ilaa Rabbiki
raadhiyatan mardhiyyah
Fadkhulii fii ‘ibaadii
wadkhulii jannatii
“Hai jiwa yang tenang
Kembalilah kamu kepada Tuhanmu
dengan hati puas lagi diridhai
Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu
Maka masuklah ke dalam surga-Ku.”
(al fajr :27-30)