Capai Sampai Cape

by - August 19, 2015


Huuufffttttt..

Gue memulai tulisan ini dengan sebuah keluhan panjang. Mungkin sedikit manifestasi dari harapan yang mulai mati, atau optimisme yang terlalu cepat ejakulasi. Bukan, bukan karena gue mulai kehilangan motivasi untuk menggapai mimpi, tapi sepertinya gue mulai bingung dengan konsep aktualisasi diri.

Sepanjang hidup manusia selalu dikaitkan ( atau mengaitkan diri ) dengan sebuah istilah yang berbunyi 'achievement'. Yess.. pencapaian, ntah darimana lahirnya, tapi dia muncul menjadi kata yang begitu sakti di tengah-tengah kehidupan. Kenapa gue bilang sakti? Karena kata yang cuma terdiri dari 10 huruf itu berhasil menjadi barometer berhasil atau gagalnya kehidupan seorang anak manusia.

Sekarang kita masuk ke pembahasan inti. Ngomongin pencapaian, apa yang udah berhasil lo capai dalam hidup ini? What have you done? Berhasil mencapai puncak  karir yang lo impikan? Berhasil mendapatkan cewe yang lo idam-idamkan? Atau sekedar berhasil mengupload foto selfie lo di puncak gunung ke instagram?

Sayangnya nggak selamanya pencapaian menuju ke arah yang positive. Ada kalanya bukannya berhasil mencapai puncak impian, kita justru nyasar ke puncak paling kelam dalam kehidupan. Puncak kebingungan, puncak keputus asaan, puncak kemalasan, puncak rasa minder, dan puncak-puncak yang memuakkan lainnya.

Pernah nggak lo nyasar kesitu? Gue sih sering..sesering gue membaca buku-buku dan streaming video-video.seminar  motivasi. Apa artinya? Artinya nggak ada yang bisa menolong kita ketika kita tersesat selain diri kita sendiri. Basi? Emang, tapi mari akui, seberapa sering lo ngerasa blank dalam hidup ini, nggak tau harus berbuat apa, lalu lo mulai curhat ke orang lain, mereka pun mulai fasih menasihati, memberi solusi, sambil sekali-kali memperdengarkan quotes-quotes bijak nan menginspirasi. Tapi apa yang terjadi, lo bukannya sadar, tapi lo malah mulai membandingkan hidup lo dengan orang lain, lo mulai kagum dengan pencapaian-pencapaian orang lain yang akhirnya bikin lo makin tinggi berada di puncak kebinasaan.

Sakit jiwa? Mungkin iya. Tapi yang perlu kita garis bawahi bahwa kehilangan semangat hidup dan diare itu nggak ada bedanya. Sama-sama penyakit, dan semua penyakit akan sembuh dengan obat yang tepat.

Ketika gue putus asa, gue nggak akan dengan mudah kembali mendapatkan motivasi hanya dengan mendengarkan nasihat orang lain. Gue hanya akan sadar ketika otak gue menemukan sesuatu yang mengingatkannya kembali pada masa kecil gue, masa di mana gue nggak tau apa itu achievement, masa dimana gue cuma tau cinta, toleransi, dan hari ini.

15 Tahun yang lalu ketika gue masih kelas 6 SD bapak gue pulang dari jakarta dengan membawa 1 dus balon bergambar logo sebuah produsen es krim + batang dan pompanya. Katanya dia di kasih sama temennya yang kerja jadi marketing di perusahaan es krim tersebut. sisa promo. Gue di kasih 5 plastik, 1 plastiknya berisi 100 balon. Terus dia bilang:  Abi nggak bawa uang dari jakarta, kalo kamu mau uang, besok ikut abi ke GUCI, kita jualan balon ini disana, nih abi kasih modal. semua uang hasil penjualannya buat kamu.

Keesokan harinya gue berangkat dari pagi ke guci, dan sampai sore gue berhasil menjual sekitar 70an balon dengan harga per balonnya Rp. 500. Walau pun banyak orang yang bingung balon berlogo merk es krim kok di jual? Biasanya cuma di bagi-bagikan secara gratis. Tapi toh mereka nggak tahan dengan rengekan anak-anak mereka yang minta beli karena tertarik dengan warna-warni dan gambar kartun singa yang menghiasi.
Jika sebelumnya gue bercita-cita untuk bisa bekerja di jakarta ketika udah gede nanti, sejak hari itu gue sadar, ngapain gue jauh-jauh cari duit kejakarta? Kalo di kampung sendiri aja gue bisa dapet duit? Ngapain gue kebawa arus globalisasi kalo di tempat kelahiran gue sendiri menyimpan begitu banyak potensi?

Tapi bukan hidup namanya kalo selalu berjalan seperti apa yang kita mau. Sekarang, 14 tahun dari hari itu gue malah masuk ( atau terjebak ) di kota metropolitan ini. Melupakan mimpi untuk bisa berdiri di kampung sendiri. So pathetic. Yaa, bukankah nggak ada yang lebih menyedihkan dari mimpi yang terlupakan?

14 tahun hidup di tanah rantau, bertemu dengan banyak orang, banyak cerita. Jatuh, bangun, lari, sampai hampir mati semua udah terlewati. Dan  kalo di tanya apa yang udah gue capai sejauh ini? banyakk.. banyaakk banget..tapi tetep ajaa gue merasa kurang. Bukannya nggak bersyukur, tapi mungkin gue perlu merencanakan sesuatu, sesuatu yang bisa membawa gue kembali ke mimpi masa kecil gue. Berdikari di kampung sendiri, melewati hari demi hari dengan di kelilingi cinta dari keluarga dan semesta, bertoleransi dengan takdir, hidup untuk hari ini dan mengencingi ambisi.

You May Also Like

0 comments