Seniman Isra Mi'raj
Hari ini di forum-forum kontent creator ramai oleh teman-teman creator yang mengeluhkan tentang minimnya apresiasi publik terhadap karya mereka. ada yang mengeluh tentang konten youtubenya yang dibikin dengan susah payah tapi setelah di upload minim dapat respon positive. ada pula blogger yang sudah susah payah bikin artikel, tapi setelah di publish hanya dalam hitungan jam tulisannya udah di copy oleh ratusan blog-blog lain dan sialnya blog-blog peng copy itu yang malah nangkring di page one google. belum lagi keluh kesah temen-temen ilustrator, tukang gambar manual, tukang bikin lagu, tukang jualan obat kuat, dll yang selalu kena grebek sama polisi moral setiap kali ngepublish karya mereka. udah susah-susah bikin gambar, tulisan, atau lagu cuma buat di kecam : Wah apaan nih sampah!! Perusak moral!! liberal!! bla..bla..bla..hahaha
Hal ini nggak cuma berlaku di dunia seni tentunya, apapun Profesi kita, mau itu Seniman, Buruh, Pedagang, atau makelar Tanah sekalipun hal paling penting tentu saja apresiasi. dalam bentuk apa saja. karena selain menjadi bukti bahwa hasil kerja kita diakui, apresiasi juga menjadi dorongan tersendiri untuk terus berkreasi. gak gampang memang untuk mendapatkannya, alih-alih dapet pujian, yang kita dapat malah lebih sering caci maki dan hinaan. hahaha
Bagi gw pribadi, proses kreativitas, adalah sarana rasa syukur kepada Tuhan karena telah memberikan kita fikiran dan ketrampilan, bahwa DIA pasti gak akan seneng kalo kita menyia-nyiakannya begitu saja.
Makanya ketika membahas ini gw jadi inget sama Peringatan Isra Mi’raj yang baru saja di peringati 2 hari yang lalu. kebanyakan kita hanya mengaitkan Isra Mi’raj dengan perintah sholat 5 waktu. gak salah sih, tapi jika di gali lebih dalam, ada pelajaran lain yang lebih menarik disana. yaitu soal perjalanan, bahwasanya segala hal yang kita lakukan dalam hidup ini adalah “kerjaan” Tuhan yang memperjalankan kita. makanya gak usah terlalu khawatir, pun gak usah terlalu Pede. Tuhan yang punya perjalanan, IA juga yang akan menjamin semua akomodasinya. Alaika d Da’wah , Wa a lainal Balagh.. kerjain aja, sisanya urusanKu, begitu kata Tuhan.
Itu dari sudut pandang Agama, dari sudut pandang pengembangan diri, gw jadi inget sama konsep Adversity Quotient’nya Paul G Stoltz. menurut dia, Adversity Quotient adalah kecerdasan untuk mengubah hambatan menjadi peluang. kecerdasan yang sama yang dipake oleh Thomas Alfa Edison ketika akhirnya dia berhasil menemukan Lampu setelah melewati 50.000 kali percobaan. ketika ditanya apa rasanya akhirnya berhasil setelah ribuan kali gagal? dia jawab : gagal? gue gak gagal, gue justru berhasil menemukan 50.000 penyebab kenapa sebuah lampu gak berfungsi. gokill kan?
Kembali ke Paul G Stoltz, dia memakai terminologi para Pendaki Gunung untuk menjelaskan konsepnya. menurutnya ada 3 tipe pendaki Gunung. yaitu :
Quiter (Si gampang menyerah) boro-boro sampai puncak, baru naik bukit udah ngap-ngapan dan minta pulang. persis seperti mereka yang gak punya visi dalam hidup, dikit-dikit putus asa dan gak pernah mampu menyelesaikan apa-apa.
Lalu yang kedua Camper (Si Tukang Kemah) bagi mereka, gak perlu lah cape-cape kepuncak, cukup cari tempat yang paling Pewe di punggung bukit, gelar tenda terus ngecamp deh disitu. mereka sedikit lebih baik dari si Quiter, tapi kadang mereka terlalu suka berada di zona nyaman, akhirnya smua cita-cita besarnya selalu mandeg di tengah jalan.
dan yang terakhir adalah Climber (Si Pendaki Sejati) Orang-orang yang selalu berhasil sampai puncak, selalu berhasil melawan rasa malas dan putus asa, gak kenal lelah, berani menghadapi segala resiko. jangankan angin dan badai, macan ada di depannya juga macannya yang di tubruk sama dia.
Pelajaran dari semuanya di atas adalah, jika memang kita serius ingin berkarya, maka cukup jadikan Tuhan satu-satunya Audiens kita, lakukan apa yang memang kita suka terus menerus, dengan dedikasi, konsistensi dan determinasi. Insya Allah, kalopun tidak dapat apresiasi hari ini, tapi kita akan meninggalkan banyak legacy untuk anak cucu kita nanti.
lagipula, konon berkarya bukan soal sebanyak apa yang mengapresiasi, tapi soal sebanyak apa yang tertuang dari hati.
with love, A. Moezaki Irkham
untuk teman-teman yang sedang berada di persimpangan keraguan dan keputus asaan..
Hal ini nggak cuma berlaku di dunia seni tentunya, apapun Profesi kita, mau itu Seniman, Buruh, Pedagang, atau makelar Tanah sekalipun hal paling penting tentu saja apresiasi. dalam bentuk apa saja. karena selain menjadi bukti bahwa hasil kerja kita diakui, apresiasi juga menjadi dorongan tersendiri untuk terus berkreasi. gak gampang memang untuk mendapatkannya, alih-alih dapet pujian, yang kita dapat malah lebih sering caci maki dan hinaan. hahaha
Makanya cara paling aman, paling nyaman, dan paling bener menurut gw agar kita tetep bisa terus berkarya adalah jangan pernah mengharapkan apresiasi. karena mengharapkan Apresiasi hanya bikin Frustasi lalu setelah itu kreativitas pun mati.
Bagi gw pribadi, proses kreativitas, adalah sarana rasa syukur kepada Tuhan karena telah memberikan kita fikiran dan ketrampilan, bahwa DIA pasti gak akan seneng kalo kita menyia-nyiakannya begitu saja.
Makanya ketika membahas ini gw jadi inget sama Peringatan Isra Mi’raj yang baru saja di peringati 2 hari yang lalu. kebanyakan kita hanya mengaitkan Isra Mi’raj dengan perintah sholat 5 waktu. gak salah sih, tapi jika di gali lebih dalam, ada pelajaran lain yang lebih menarik disana. yaitu soal perjalanan, bahwasanya segala hal yang kita lakukan dalam hidup ini adalah “kerjaan” Tuhan yang memperjalankan kita. makanya gak usah terlalu khawatir, pun gak usah terlalu Pede. Tuhan yang punya perjalanan, IA juga yang akan menjamin semua akomodasinya. Alaika d Da’wah , Wa a lainal Balagh.. kerjain aja, sisanya urusanKu, begitu kata Tuhan.
Itu dari sudut pandang Agama, dari sudut pandang pengembangan diri, gw jadi inget sama konsep Adversity Quotient’nya Paul G Stoltz. menurut dia, Adversity Quotient adalah kecerdasan untuk mengubah hambatan menjadi peluang. kecerdasan yang sama yang dipake oleh Thomas Alfa Edison ketika akhirnya dia berhasil menemukan Lampu setelah melewati 50.000 kali percobaan. ketika ditanya apa rasanya akhirnya berhasil setelah ribuan kali gagal? dia jawab : gagal? gue gak gagal, gue justru berhasil menemukan 50.000 penyebab kenapa sebuah lampu gak berfungsi. gokill kan?
Kembali ke Paul G Stoltz, dia memakai terminologi para Pendaki Gunung untuk menjelaskan konsepnya. menurutnya ada 3 tipe pendaki Gunung. yaitu :
Quiter (Si gampang menyerah) boro-boro sampai puncak, baru naik bukit udah ngap-ngapan dan minta pulang. persis seperti mereka yang gak punya visi dalam hidup, dikit-dikit putus asa dan gak pernah mampu menyelesaikan apa-apa.
Lalu yang kedua Camper (Si Tukang Kemah) bagi mereka, gak perlu lah cape-cape kepuncak, cukup cari tempat yang paling Pewe di punggung bukit, gelar tenda terus ngecamp deh disitu. mereka sedikit lebih baik dari si Quiter, tapi kadang mereka terlalu suka berada di zona nyaman, akhirnya smua cita-cita besarnya selalu mandeg di tengah jalan.
dan yang terakhir adalah Climber (Si Pendaki Sejati) Orang-orang yang selalu berhasil sampai puncak, selalu berhasil melawan rasa malas dan putus asa, gak kenal lelah, berani menghadapi segala resiko. jangankan angin dan badai, macan ada di depannya juga macannya yang di tubruk sama dia.
Pelajaran dari semuanya di atas adalah, jika memang kita serius ingin berkarya, maka cukup jadikan Tuhan satu-satunya Audiens kita, lakukan apa yang memang kita suka terus menerus, dengan dedikasi, konsistensi dan determinasi. Insya Allah, kalopun tidak dapat apresiasi hari ini, tapi kita akan meninggalkan banyak legacy untuk anak cucu kita nanti.
lagipula, konon berkarya bukan soal sebanyak apa yang mengapresiasi, tapi soal sebanyak apa yang tertuang dari hati.
with love, A. Moezaki Irkham
untuk teman-teman yang sedang berada di persimpangan keraguan dan keputus asaan..
0 comments